Danantara dan Lompatan Ekonomi Hijau dari Daerah: Menata Masa Depan Lewat Pendanaan Lanskap Berbasis Yurisdiksi dalam Kerangka Astagatra

"Peserta workshop "Integrating Corporate Action with Jurisdictional Initiatives in Indonesia" di Tangerang, 16 Juli 2025, membahas sinergi aksi iklim. (Dok. Fakta Nasional)"
Peserta workshop "Integrating Corporate Action with Jurisdictional Initiatives in Indonesia" di Tangerang, 16 Juli 2025, membahas sinergi aksi iklim. (Dok. Fakta Nasional)

Pembukaan: Momentum di Tengah Krisis Iklim dan Ketahanan Nasional

Dalam konteks Trigatra (geografi, demografi, sumber daya alam), Indonesia memiliki posisi strategis sebagai negara kepulauan dengan hutan tropis, ekosistem gambut, dan karbon biru yang kaya, menjadikannya pemain utama dalam ekosistem karbon global.

Namun, krisis iklim global dan tekanan terhadap sumber daya alam (aspek sumber daya alam) mengancam ketahanan nasional, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada ekosistem ini. Danantara, Dana Kekayaan Berdaulat (SWF) baru yang digagas Presiden, muncul sebagai tonggak penting untuk memperkuat ketahanan nasional melalui pendekatan ekonomi hijau berbasis yurisdiksi.

Dalam kerangka Pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan), Danantara harus berperan sebagai katalisator yang mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial, sejalan dengan ideologi Pancasila yang menekankan keadilan sosial dan keseimbangan.

Danantara tidak hanya berfungsi sebagai agregator atau lembaga perdagangan karbon, tetapi juga sebagai penggerak ekonomi hijau yang memperkuat aspek ekonomi dan sosial-budaya dengan memastikan manfaat jasa lingkungan sampai ke masyarakat lokal.

Pertanyaan strategisnya adalah: Bagaimana Danantara dapat menjadi jembatan antara kebijakan nasional, inisiatif lokal, dan pasar global, sekaligus mendukung ketahanan nasional di semua gatra?

Baca Juga: Menguatkan Akar, Merajut Arah: GCFTF dan Sinergi Aksi Iklim Korporasi-Daerah Menuju NDC

Paradigma Baru: Ekonomi Hijau Berbasis Yurisdiksi dan Astagatra

Dalam konteks Trigatra, pendekatan lanskap berbasis yurisdiksi memungkinkan provinsi seperti Kalimantan Barat, Papua, dan Sumatera Selatan menjadi satuan kerja strategis yang menyeimbangkan konservasi (sumber daya alam), produksi (ekonomi), dan pembangunan sosial (demografi).

Pendekatan ini menjawab kebutuhan untuk mengelola sumber daya alam secara lestari, mendukung pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan, dan memanfaatkan posisi geografis Indonesia sebagai pusat ekosistem karbon dunia.

Dari sisi Pancagatra, skema karbon harus melampaui penurunan emisi untuk menciptakan manfaat yang adil dan berkelanjutan, yang mendukung:

  1. Ideologi: Mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila, khususnya keadilan sosial, dengan memastikan manfaat karbon sampai ke masyarakat lokal dan adat.
  2. Politik: Memperkuat tata kelola melalui kolaborasi lintas sektor yang didukung oleh Bappenas untuk mendorong daerah menjaga ekosistemnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) berperan dalam merumuskan regulasi mitigasi dan adaptasi iklim, pengelolaan hutan lestari, serta pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) emisi gas rumah kaca. KemenLHK juga menjadi otoritas penerbitan izin proyek karbon, memastikan kepatuhan terhadap standar internasional.
  3. Ekonomi: Danantara sebagai kendaraan investasi melalui skema blended finance, menggabungkan dana publik, swasta, filantropi, dan internasional untuk mendanai sektor kehutanan, pertanian regeneratif, dan restorasi gambut.
  4. Sosial-Budaya: Pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam proyek karbon untuk memastikan harmoni sosial dan pelestarian kearifan lokal.
  5. Pertahanan-Keamanan: Keberlanjutan lingkungan melalui REDD+ dan perdagangan karbon memperkuat keamanan lingkungan sebagai bagian dari ketahanan nasional.

Peran Aktor Strategis dalam Tata Kelola Karbon Berkelanjutan

Mewujudkan visi ini memerlukan sinergi antar aktor:

  1. Bappenas: Mendesain insentif fiskal berbasis kinerja provinsi dan mengintegrasikan kebijakan karbon ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
  2. KemenLHK: Merumuskan regulasi, mengelola hutan lestari, dan memastikan MRV emisi gas rumah kaca sesuai standar global.
  3. BRIN: Mendukung metodologi pemantauan karbon berbasis ilmiah melalui unit seperti CIFOR, serta mengembangkan teknologi inovatif.
  4. BRIDA: Menghubungkan inovasi lokal dengan sistem data nasional, menyesuaikan metodologi dengan konteks daerah.
  5. Pemerintah Daerah: Menyusun rencana aksi penurunan emisi, regulasi turunan, dan memfasilitasi proyek karbon lokal.
  6. NGO: Berperan dalam advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan pemantauan independen. Investor dan Pengembang Proyek Karbon: Menyediakan dana dan keahlian teknis untuk proyek REDD+, reforestasi, dan efisiensi energi.
  7. Pihak Terkait Lainnya: Masyarakat adat, akademisi, dan sektor swasta non-karbon berkontribusi melalui kearifan lokal, riset, dan inovasi teknologi hijau.

Kesiapan Daerah: Dari Kalimantan untuk Dunia

Provinsi seperti Kalimantan Barat telah membentuk Dewan Pengarah Mekanisme Pembagian Manfaat (BSM) yang melibatkan gubernur, dinas LHK, akademisi, tokoh adat, dan sektor swasta.

Struktur ini mencerminkan kesiapan teknokratis dan niat politik untuk membangun arsitektur REDD+ berbasis daerah, mendukung aspek politik dan sosial-budaya dalam Astagatra.

Replikasi model ini di provinsi lain akan memperkuat fondasi kelembagaan untuk mengintegrasikan inisiatif Danantara dengan kebijakan lokal, menjadikan daerah sebagai penggerak utama ekonomi hijau.

Baca Juga: Narasi yang Tak Seimbang: Epistemic Warfare di Era AI dan Ketegangan Nurani Global

Menuju Ekonomi Hijau yang Berkeadilan

Keberhasilan transformasi karbon Indonesia diukur dari manfaat yang dirasakan oleh petani, masyarakat adat, dan generasi muda di daerah, sejalan dengan aspek sosial-budaya dan ekonomi dalam Pancagatra.

Danantara harus menjadi bagian dari ekosistem kelembagaan yang adil, transparan, dan berbasis data, mendukung ketahanan nasional dengan memastikan pembangunan ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan.

Penutup: Diplomasi Hijau untuk Ketahanan Nasional

Dalam kerangka Trigatra, Indonesia memiliki aset strategis berupa hutan tropis, ekosistem gambut, karbon biru, dan kearifan lokal masyarakat adat. Dalam Pancagatra, keberanian politik, kecermatan teknokratik, dan tata kelola yang matang diperlukan untuk menyatukan potensi ini dalam gerakan nasional yang mendukung ideologi Pancasila, stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, harmoni sosial-budaya, dan keamanan lingkungan.

Dengan pendekatan lanskap yurisdiksi dan pembiayaan kolaboratif, Danantara dapat menjadikan Indonesia sebagai mercusuar ekonomi hijau dunia, memperkuat ketahanan nasional melalui lompatan yang dimulai dari daerah.

Oleh: Gusti Hardiansyah
Komite Eksekutif GCF-TF Indonesia – Ketua ICMI Kalimantan Barat

*Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan atau kebijakan resmi dari penerbit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *